Belajar seharusnya menjadi kegiatan
yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu
kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup
dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas
pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu
konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat
tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori
belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian
belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu
yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah
laku. Seperti yang dikemukakan oleh
Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih
menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran
manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah
suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan
pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif
dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental
yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif
dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan,
pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan
berbekas.
Sesuai
dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung
termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat
dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa
teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:
Teori
Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan
perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai
perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan
kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan
tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada
setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan
tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor(dari lahir
sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi
ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau
memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan
kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting
muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu
menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan
menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih
umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali
kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya
mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu
mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh
egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang
berbeda dengannya.
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih
7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah
mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya
mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari
pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah
menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh
pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus
mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika
atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih
umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu
berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal
ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat
mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah.
Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat
konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal
yang bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi
tahapan perkembangan kemampuan kognitif anak menjadi empat tahap yang
didasarkan pada usia anak tesebut.
Taxonomy
SOLO
Teori
belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori
pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik
melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang
cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa
pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia yang sama
dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang
anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran
dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat
diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan
berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para
peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah
penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam
memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil
pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi
sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah
pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian
theories.
Biggs
dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar
Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan
dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed
Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized
cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual
respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka
menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa
hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized
cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka
HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh
pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan
suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti
yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah
beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan
erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi
penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa
dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada
level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa
berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada
level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak
dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang
berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih
proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis
(1991:60)
Dari
uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada
analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan
butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak
difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada
melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke
waktu.
Untuk
menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang
tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991:
60)menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”.
Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan
Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan
menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan.
Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level
terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan
anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara
khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal
fungsioning menjadi normanya.
Berikut
adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1.
Mode Sensorimotor
Focus
perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun
kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan
lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan
oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.
2.
Mode Iconic
Pada
mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan
elemen-elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut
digunakan sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak
yang berada pada mode ini antara lain sering menggunakan strategi menebak,
senang menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-gambaran mental.
Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang
berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal
ada pada mode concrete symbolic.
3.
Mode Concrete Symbolic
Pada
mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai
merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan,
yaitu sebuah system symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di
dunia.
Sebuah
system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi
sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem
symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode
concrete symbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika
sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan
objek-objek yang berada di sekitarnya.
4.
Mode Formal
Pada
mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi
teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini
meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional.
Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan
Tinggi.
5.
Mode Post Formal
Keberadaan
mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari pada
penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari
mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu
hal.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima
tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada
siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir
berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki
sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak saling berhubungan, sehingga
tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna
apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini
terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan
konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa
kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan,
mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini
siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat terpisah
satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa
koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum
tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan
kemampuan siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah,
mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan
melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini
siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan tujuan.
Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu
kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah
dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun
kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain;
membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan,
menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5. Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi
tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan
dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat
melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik.
Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat
suatu teori, membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta
membangun suatu konsep.
Teori
Belajar Van Hiele
Dalam belajar pengajaran geometri
terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan
tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Van Hiele adalah
seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pegajaran
geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya,
diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama
dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran
yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan
berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat
lima tahapan berpikir dalam belajar geometri yaitu;
a.Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak mulai belajar
mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu
mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai
contoh jika kepada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui
sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari
bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6
buah.
b.Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat
mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geomeri yang diamatinya. Ia sudah
mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri tersebut.
Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa
terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling
sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait
antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum
mengetahui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang, bahwa bujur sangkar
adalah belah ketupat dan sebagainya.
c.Tahap Pengurutan
Pada tahap ini anak telah mampu
melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan sebutan berpikir
deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang secara penuh. Pada tahap ini anak
telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mulai mengenali bahwa bujur
sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian
pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah
balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk
bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan
mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum
memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
d.Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu
menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal
yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Mereka juga telah mengerti
peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang telah
didefinisiskan. Misalnya anak telah mampu memahami dalil. Selain itu, pada
tahap ini anak telah mampu menggunakan postulat atau aksioma yang digunakan
dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktian segitiga yang
sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau
sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat
tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara
pebuktian dua segitiga yang sama dan sebangun(kongruen).
e.Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai
menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi
suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau
postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir
yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak
semua anak, meskipun sudah duduk dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum
sampai pada tahap berpikir ini.
Paparan di atas baru beberapa teori
pembelajaran kognitif, selain itu masih banyak teori belajar konitif yang
diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner, Bloom, Freudenthal dan
lain-lain.
Referensi:
Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. (1991). Psikologi
Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Atherton J S (2005) Learning and
Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available: http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm
Accessed: diakses tanggal 17 January 2009.
Biggs, J.B & Collis, K.F. (1982). Evaluating the
Quality of Learning: the SOLO Taxonomy. New York: Academic Press
Biggs, J. B. and Collis, K. F. (1991). Multimodal
learning and the quality of intelligent behaviou. In H.Rowe (ed.).
Crowley, L Mary.(1987). “The Van Hiele Model of the
development of Geometric Thought.” Dalam Learning and teaching Geometry,
K-12. National of Teacher of mathematics (NCTM). United State of America.
Karso, et.al.(1993). Dasar-Dasar Pendidikan MIPA.
Jakarta: Depdikbud.
Suherman, Erman &
Winataputra, Udin S. (1992). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Depdikbud. Jakarta.
Winkel, W.S. (1996). Psikologi